The Shattered Light-Chapter 33: – Jejak Darah di Lembah Curam

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 33 - – Jejak Darah di Lembah Curam

Fajar perlahan menyingsing, membelah kabut tipis yang menyelimuti lembah. Udara dingin menusuk kulit, sementara embun membasahi dedaunan di sepanjang jalan setapak. Kelompok Kaelen bersiap meninggalkan tempat peristirahatan mereka. Wajah-wajah mereka tampak lelah, namun sorot mata penuh kewaspadaan tak pernah padam.

Varrok berdiri di depan, matanya menyapu jalur menuju Lembah Curam. Lembah itu terkenal berbahaya, penuh perangkap dan tempat persembunyian para pengintai Ordo Cahaya. Setiap langkah yang salah bisa menjadi akhir hidup mereka.

This chapter is updat𝓮d by freēnovelkiss.com.

"Kita masuk ke wilayah musuh. Jangan ada suara berlebih. Tetap rapat," ucap Varrok pelan.

Kaelen mengangguk. Serina, Lyra, Darek, dan Aria segera membentuk barisan di belakangnya. Mereka bergerak hati-hati menuruni jalur berbatu yang curam. Batu-batu kecil sesekali bergeser di bawah kaki mereka, menimbulkan bunyi lirih yang cukup membuat jantung berdegup lebih cepat.

Pepohonan lebat menutupi sinar matahari, membuat lembah itu tampak muram. Tak ada suara burung atau gemerisik binatang. Keheningan yang mencurigakan membuat Kaelen semakin waspada. Perasaan seakan diawasi terus menghantuinya.

Setibanya di dasar lembah, Varrok mengangkat tangan, memberi isyarat berhenti. Ia berlutut, mengamati tanah dengan saksama.

"Jejak kuda... baru saja lewat," gumamnya. "Pengintai Ordo. Mereka tak jauh."

Kaelen merasakan bulu kuduknya meremang. Seketika, dorongan kekuatan gelap di dalam dirinya bangkit, berbisik pelan, menawarkan perlindungan dan kekuatan. Namun, ia menolaknya. Bukan sekarang.

"Kita berputar ke jalur barat," kata Varrok.

Mereka mengikuti jalur sempit di antara tebing dan semak berduri. Napas mereka tertahan, tiap helaan udara terasa berat. Mata dan telinga mereka waspada menangkap gerakan sekecil apa pun.

Tiba-tiba, suara derap kuda mendekat. Varrok mengangkat tangan, memberi tanda untuk tiarap. Mereka bersembunyi di balik rimbunan semak.

Dua prajurit Ordo Cahaya melintas perlahan. Armor mereka berkilauan samar. Salah satu prajurit turun dari kudanya, mengamati sekeliling dengan curiga.

Kaelen menahan napas. Serina menggenggam busurnya erat, tangan Lyra gemetar di gagang belatinya, sementara Darek bersiap dengan kapaknya.

"Aku merasa ada sesuatu di sini," ujar prajurit itu.

Suasana menegang. Jika mereka ditemukan, pertarungan tak terhindarkan. Namun, sebelum prajurit itu bergerak lebih jauh, suara burung gagak memecah keheningan.

"Kita buang-buang waktu," kata prajurit lain. "Ayo kembali."

Mereka naik ke kuda dan berlalu. Baru setelah langkah kuda menjauh, Kaelen berani menarik napas panjang.

Setelah yakin aman, Varrok memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan. Mereka bergerak diam-diam hingga mencapai sebuah perkemahan kecil yang tampaknya baru saja ditinggalkan.

Kaelen berjongkok, memeriksa sisa abu api. "Baru semalam," ucapnya.

Varrok mengangguk. "Bisa jadi Balrik dan anak buahnya. Kita semakin dekat."

Namun, Serina menemukan sesuatu di balik semak. Sebuah simbol matahari bersilang terukir di batu—lambang Ordo Cahaya.

"Mereka juga sudah sampai ke sini," kata Serina cemas.

Kaelen berdiri. Dadanya sesak. Bukan hanya bahaya yang makin dekat, tetapi juga ketakutan akan dirinya sendiri. Ia tahu, jika dipaksa lagi menggunakan kekuatan itu, ia akan kehilangan serpihan kenangan berharga. Sudah terlalu banyak yang hilang, dan ia takut takkan tersisa apa pun selain kehampaan.

Varrok menatap kelompoknya. "Kita harus lebih hati-hati. Lembah ini bukan tempat untuk lengah. Kita sudah memasuki tanah kematian."

Serina menggigit bibir, berusaha menutupi kekhawatiran. Lyra mencoba tersenyum pada Kaelen, tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa takut. Darek dan Aria mempererat genggaman pada senjata mereka.

Kaelen memandang ke arah jalur yang akan mereka tempuh. Setiap langkah semakin mendekatkan mereka kepada Balrik, tetapi juga semakin menjerumuskan mereka ke dalam bahaya yang tak kasatmata.

Dan di antara bayangan pepohonan di kejauhan, Eryon berdiri diam. Mata tajamnya mengikuti pergerakan mereka, bibirnya melengkung tipis. Ia tahu, waktu yang dinantinya semakin dekat. Saat Kaelen jatuh ke dalam kegelapan, saat itulah kekuatan sejati bocah itu akan bangkit. Itu adalah momen yang ia tunggu-tunggu.

Perjalanan Kaelen dan kelompoknya baru saja memasuki babak yang lebih mematikan.