©NovelBuddy
The Shattered Light-Chapter 47: – Jejak di Tengah Kabut
Chapter 47 - – Jejak di Tengah Kabut
Fajar menyingsing perlahan, menggantikan dinginnya malam dengan cahaya suram yang menembus celah pepohonan. Kabut belum sepenuhnya pergi, masih menyelimuti dasar hutan, menciptakan kesan seolah mereka berdiri di antara dua dunia—yang nyata dan yang penuh bayangan. Udara pagi itu lembap, disertai aroma tanah basah dan dedaunan yang menguar samar. Kelembaban menusuk sampai ke tulang, menambah rasa letih yang terus menumpuk di tubuh para penghuni pos.
Kaelen duduk bersandar di pagar kayu, matanya lelah menatap hutan yang diam, namun terasa hidup. Setiap desir angin membawa kekhawatiran, setiap bayangan di balik kabut terasa seperti mata yang mengintai. Tidur tak lagi menjadi kemewahan sejak mereka tiba di pos ini.
Suara langkah pelan terdengar. Serina menghampiri dengan membawa secangkir air hangat.
"Kau butuh ini," ucapnya lembut, mencoba memberi sedikit kehangatan di tengah suasana yang dingin.
Kaelen menerima cangkir itu. "Terima kasih, Serina. Kau tidur nyenyak?"
Serina menggeleng. "Tidak. Aku... khawatir dengan tim pengintai. Mereka belum kembali."
Kaelen mengangguk. Hatinya pun dipenuhi kegelisahan yang sama. Ketidakhadiran Varrok dan yang lain semakin menebalkan rasa cemas.
Tak lama, langkah-langkah tergesa terdengar. Rhal muncul dengan wajah tegang.
"Kaelen, Varrok dan timnya kembali! Tapi... Balrik terluka."
Kaelen langsung bangkit. "Di mana mereka?"
"Di gerbang. Cepatlah."
Kaelen dan Serina bergegas menuju gerbang kayu. Varrok berdiri di sana dengan napas tersengal. Balrik terduduk, darah segar mengalir dari luka robek di bahunya. Joren membantu menekan kain di atas lukanya, sementara wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Apa yang terjadi?" tanya Kaelen, suaranya penuh kekhawatiran.
Varrok mengusap wajahnya. "Kami menemukan jejak kaki itu... Manusia, tapi mereka bergerak aneh. Seperti dikendalikan sesuatu. Saat kami mengintai, mereka menyerang tiba-tiba. Mereka... bukan prajurit biasa, Kaelen. Mata mereka hitam. Tak ada rasa takut. Tak ada nyawa di mata mereka."
Joren menambahkan, suaranya bergetar. "Aku menusuk salah satu di dada... dia tetap bergerak, seperti tak merasakan sakit. Kami nyaris terkepung. Balrik melindungi kami, dia terkena serangan. Kalau bukan karena dia, mungkin kami tak akan kembali utuh."
Kaelen berjongkok di samping Balrik. "Bagaimana perasaanmu?"
Balrik menyeringai lemah, meskipun wajahnya pucat. "Aku masih bisa memenggal kepala musuh, Kaelen. Jangan khawatir. Aku belum ingin mati."
Kaelen tersenyum kecil, tapi hatinya diliputi kecemasan. Ini lebih buruk dari yang ia perkirakan. Musuh yang tak bisa mati dengan cara biasa—itu berarti kekuatan yang lebih kelam sedang bermain di balik semua ini.
Lyra datang tergesa-gesa setelah mendengar kabar itu. "Balrik... apa kau baik-baik saja?"
Balrik mengangguk, meskipun jelas menahan rasa sakit. "Aku tidak akan mati semudah itu, Lyra."
Varrok menatap Kaelen serius. "Ini bukan serangan biasa. Ada sesuatu yang gelap di hutan ini. Mereka seperti boneka. Aku belum pernah melihat yang seperti ini. Aku rasa ini bukan sekadar pasukan Ordo. Ada sesuatu yang lebih besar."
Kaelen terdiam sejenak, lalu berbicara dengan nada tegas. "Mulai sekarang, tak ada yang keluar sendirian. Kita harus memperkuat penjagaan di sekeliling pos. Mereka tahu posisi kita. Kita harus siap menghadapi yang lebih buruk."
Rhal mengangguk. "Aku akan mengatur penjaga di empat sudut. Aku juga minta beberapa orang memeriksa persediaan senjata. Jika mereka datang malam ini, kita tidak boleh lengah."
Kaelen memandang teman-temannya satu per satu. Wajah-wajah yang lelah, namun tetap berdiri teguh.
"Kita semua sudah melewati banyak hal. Aku tahu kalian lelah. Tapi musuh kita... bukan lagi manusia biasa. Ini lebih dari itu. Aku tak tahu apa yang Eryon lakukan, tapi kita harus bertahan. Bersama. Jika kita runtuh sekarang, mereka menang."
Varrok menepuk bahu Kaelen. "Kami bersamamu. Selalu."
Serina menggenggam tangan Kaelen, memberi dukungan tanpa kata-kata. Lyra berdiri di dekatnya, matanya memperhatikan interaksi itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan—antara kekhawatiran dan kecemburuan yang ia coba sembunyikan.
Saat mereka mulai bersiap, Garel mengamati dari kejauhan. Wajahnya tenang, tetapi matanya menyimpan sesuatu yang berbeda. Ia tahu malam nanti akan menjadi malam yang panjang. Dan perintah yang ia tunggu, bisa datang kapan saja.
Sementara itu, jauh di dalam hutan, sosok-sosok bermata hitam bergerak dalam diam. Suara bisikan samar terdengar di antara pepohonan, membawa kabar tentang darah dan kehancuran yang akan segera tiba. Kabut seolah menjadi pelindung mereka, dan kegelapan menjadi sekutu yang setia. Malam ini, mungkin bukan hanya tubuh yang akan jatuh—tetapi juga jiwa yang mulai goyah.
R𝑒ad lat𝒆st chapt𝒆rs at free𝑤ebnovel.com Only.