The Shattered Light-Chapter 179: – Bayangan yang Kembali

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 179: – Bayangan yang Kembali

Kabut belum sepenuhnya menghilang dari sekitar Menara Bayangan, tapi cahaya yang meledak dari dalam bangunan itu membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat—seperti dunia sedang menahan napas.

Di kejauhan, kaki-kaki kuda menghentak tanah. Debu dan rumput kering beterbangan. Pasukan Ordo Cahaya mendekat. Tapi mereka bukan kelompok patroli biasa—panji yang mereka bawa bukan lambang Grandmaster Elvior, melainkan simbol tua: mata terbuka di atas nyala api. Lambang Ordo dalam bentuknya yang paling puritan, paling kejam.

Di depan pasukan, seseorang duduk di atas kuda abu-abu. Rambut putihnya terikat rapi. Tubuhnya kurus, wajahnya berkerut, tapi matanya menyala seperti api yang tak pernah padam.

"Aku tidak percaya," bisik seorang prajurit muda di barisan belakang. "Bukankah dia sudah mati bertahun-tahun lalu?"

"General Varkesh..." desis kapten di sampingnya. "Roh lapuk itu kembali."

Di dalam Menara, Kaelen menatap dirinya di cermin untuk terakhir kalinya sebelum ia keluar. Suara Riva telah menghilang, bersama pantulan-pantulan masa lalunya. Yang tertinggal hanyalah dirinya sekarang. Bukan murid Varrok. Bukan alat dendam. Tapi Kaelen... utuh.

Saat pintu menara terbuka, dia melangkah ke luar, di hadapan langit keperakan dan tanah gersang. Dan di kejauhan, ia melihat barisan pasukan mendekat.

Ia tak mengangkat senjata.

Pasukan berhenti sekitar lima puluh meter darinya. Dari formasi itu, seseorang turun dari kudanya. Varkesh melangkah perlahan, mantel perangnya berkibar diterpa angin, senyumnya seperti bilah pisau tua—masih tajam meski berkarat.

"Kaelen," sapa Varkesh. "Putra dari orang yang mengkhianatiku dan murid dari pengkhianat yang lebih parah."

Kaelen tidak bergerak. "Varkesh... kau seharusnya sudah mati."

Varkesh terkekeh pelan. "Kau seharusnya sudah melupakan aku. Tapi aku tahu kau mengingat. Setidaknya cukup untuk mengerti bahwa kita masih punya urusan."

"Aku tidak punya urusan denganmu," jawab Kaelen. "Aku tak pernah berjuang untuk Ordo sepertimu. Aku berjuang karena semua yang kau dan orang-orang sepertimu hancurkan."

Varkesh mendekat, kini hanya beberapa langkah darinya. “Lalu kenapa kau masih hidup? Semua prajurit sepertiku sudah mati atau dibuang. Tapi kau, sang perusak dua dunia, masih berjalan.”

“Aku masih hidup karena aku belum selesai.”

“Dengan apa?” tanya Varkesh tajam. “Dengan menghancurkan sisa-sisa harapan orang-orang yang tidak bisa memilih?”

Kaelen mendekat satu langkah. “Justru karena orang-orang itu tak bisa memilih, aku ada. Aku akan memutus semua siklus yang kau hidupkan kembali: pengorbanan demi kedamaian yang tak pernah datang.”

Varkesh tertawa getir. “Kau idealis seperti ayahmu. Itu membuatnya lemah. Dan bodoh. Aku takkan mengulang kesalahan itu.”

Ia mengangkat tangannya.

Pasukan Ordo mengangkat senjata. Namun sebelum mereka bisa menyerbu, langit berubah gelap. Angin berhenti.

Sebuah suara menggema... bukan dari bumi, bukan dari langit. Tapi dari tengah medan perang.

Suara Eryon.

“Cukup!”

Semua mata menoleh ke atas. Di puncak menara, berdiri Eryon—atau sisa dari dirinya. Tubuhnya setengah bayangan, setengah cahaya. Tapi suaranya masih tegas.

“Pertarungan ini bukan tentang Kaelen. Bukan tentang Varkesh. Ini tentang siapa yang akan memegang kendali atas dunia yang tak ingin dikendalikan lagi.”

Varkesh menatap ke atas, matanya mengecil. “Kau seharusnya mati.”

Eryon menatapnya dingin. “Begitu juga kau. Tapi kita berdua terlalu keras kepala.”

Kaelen maju satu langkah. “Aku tak akan membiarkan perang ini pecah atas nama masa lalu. Jika kau ingin menyelesaikan sesuatu, Varkesh, selesaikan denganku. Bukan dengan mereka.”

Varkesh tersenyum. “Tentu. Tapi bukan di sini. Kau tahu di mana. Tempat yang semuanya dimulai.”

Kaelen menatapnya tajam. “Reruntuhan Elvarin.”

Varkesh mengangguk.

Kaelen mengangguk perlahan. “Tiga hari dari sekarang. Hanya kita berdua.”

Varkesh menoleh ke pasukannya. “Sampaikan pada dunia... bahwa akhir dari segalanya akan dimulai lagi.”

Malam itu, Kaelen duduk di luar Menara. Ia menggenggam liontin kayu tua, jemarinya gemetar.

Riva mendekat dari bayangan. “Dia bukan hanya musuh, Kaelen. Dia adalah bayangan dari keputusan yang tidak pernah sempat dibuat.”

Kaelen menatapnya. “Aku tahu. Karena jika aku tidak membuat keputusan di Elvarin nanti... aku akan jadi dia.”

RECENTLY UPDATES
Read Re: Blood and Iron
HistoricalActionRomanceReincarnation
Read Eldritch Guidance
HorrorFantasyPsychologicalAction
Read Sweet Hatred
RomanceAdultSlice Of Life
Read Cultivating Immortality, Starting from Childhood Sweethearts
FantasyHaremMartial ArtsRomance