The Shattered Light-Chapter 27: – Pemburu di Balik Kabut

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 27 - – Pemburu di Balik Kabut

Asap dari pos yang terbakar masih terlihat samar di kejauhan ketika Kaelen dan kelompoknya menyusuri hutan. Matahari mulai tenggelam, menyisakan cahaya temaram yang menembus celah dedaunan. Langkah mereka cepat, tetapi setiap derap kaki penuh kewaspadaan. Mereka tahu, balasan dari Ordo Cahaya hanya soal waktu.

Varrok berjalan paling depan, matanya tajam mengamati jejak di tanah. Serina berada di belakangnya dengan busur yang selalu siaga. Darek dan Aria menjaga sisi kiri dan kanan, sedangkan Lyra berjalan di samping Kaelen. Sesekali, Kaelen melirik ke arah Lyra—wajahnya tegang, tetapi tetap berusaha tenang.

"Seberapa jauh kita akan pergi sebelum beristirahat?" tanya Lyra dengan suara pelan.

Kaelen menatap Varrok yang tetap fokus ke depan. "Kita terus bergerak sampai malam benar-benar turun. Mereka pasti sudah mengirim pemburu."

Varrok mengangguk tanpa menoleh. "Mereka tahu jalur ini. Kita harus menghindari titik-titik terbuka. Jika kita lengah, kita mati."

Baru beberapa jam berlalu sejak keberhasilan mereka membakar pos perbatasan, tetapi rasa kemenangan itu telah sirna. Sekarang yang tersisa hanya ketakutan akan pengejaran.

Ketika malam akhirnya menjatuhkan tirainya, Varrok memberi isyarat berhenti. Mereka menemukan cekungan kecil di balik bebatuan besar, cukup aman untuk beristirahat tanpa terlihat jelas. Api tidak dinyalakan. Hanya sisa cahaya bulan yang menjadi penerang.

Mereka duduk membentuk lingkaran, napas berat terdengar di antara kesunyian.

"Besok, kita berpencar menjadi dua kelompok," ucap Varrok pelan. "Aku, Darek, dan Aria akan memeriksa jalur barat. Kaelen, kau bersama Serina dan Lyra menuju jalur selatan. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, jangan bertarung. Kembali ke titik ini."

Semua mengangguk, meski ada keraguan di wajah Lyra dan Serina. Kaelen merasakan tekanan yang semakin berat di pundaknya. Ia harus memastikan mereka selamat.

Malam itu, Kaelen tak bisa tidur nyenyak. Bisikan gelap yang selama ini menghantuinya kembali muncul.

"Gunakan aku... Lindungi mereka... Kau butuh kekuatanku..."

Kaelen mengepalkan tangan. Ia tahu setiap kali ia mengandalkan kekuatan itu, ia akan kehilangan sebagian dari dirinya. Sebagian dari orang-orang yang ia cintai.

Pagi menjelang. Mereka berpisah sesuai rencana. Kaelen berjalan di depan, diikuti Serina dan Lyra. Hutan pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Bahkan suara burung pun jarang terdengar.

"Kaelen, kau yakin ini jalur yang aman?" tanya Serina sambil memperhatikan sekeliling.

"Sebaiknya kita tetap berpegangan pada rencana Varrok," jawab Kaelen. "Jangan keluar dari jalur."

Namun, firasat buruk semakin menguat. Setiap langkah terasa seperti diintai.

Tiba-tiba, dari balik semak, tiga sosok berseragam Ordo Cahaya muncul. Mereka bersenjata lengkap, wajah mereka tertutup kain hitam. Salah satu dari mereka menghunuskan pedangnya ke arah Kaelen.

"Serahkan diri kalian, atau mati di tempat."

Serina langsung mengangkat busurnya, tetapi Kaelen mengangkat tangan sebagai tanda agar ia tenang.

"Kami tidak mencari masalah," ucap Kaelen dengan suara datar.

The sourc𝗲 of this content is freēwēbηovel.c૦m.

Prajurit itu menyeringai. "Terlambat. Kami sudah mendapat perintah untuk memburu kalian."

Pertempuran pecah seketika.

Serina melepaskan anak panah, mengenai bahu salah satu prajurit. Lyra menghunus belatinya, berusaha melindungi diri. Kaelen menghunus pedangnya, menangkis serangan musuh yang mengarah ke dadanya.

Benturan senjata bergema di tengah hutan. Kaelen menghindar, mengayunkan pedangnya ke arah lawan. Namun, prajurit itu terlalu cekatan. Serangan Kaelen ditangkis, dan tendangan keras menghantam perutnya.

Kaelen terjatuh. Musuh mengangkat pedangnya, bersiap menebas.

Saat itu, suara di dalam kepalanya menggema lebih kuat.

"Gunakan aku... atau mereka mati..."

Kaelen melihat sekilas ke arah Lyra yang dikepung dua prajurit. Serina berusaha membantu, tetapi ia pun terdesak. Detik itu, Kaelen tahu ia tidak punya pilihan.

Ia membiarkan kekuatan itu keluar.

Seketika, tubuhnya dipenuhi energi gelap. Pandangannya menjadi tajam, dan gerakannya melesat lebih cepat dari sebelumnya. Dengan satu tebasan, ia melukai prajurit yang hendak membunuhnya.

Dua prajurit lain terkejut. Namun, Kaelen bergerak seperti bayangan. Ia menyerang dengan brutal, menebas kaki salah satu prajurit hingga roboh.

Serina dan Lyra hanya bisa menyaksikan dengan mata terbelalak. Mereka belum pernah melihat Kaelen seperti ini.

Dalam beberapa detik, ketiga prajurit itu tergeletak, berlumuran darah.

Kaelen berdiri di tengah mayat, napasnya terengah. Jantungnya masih berpacu, tetapi rasa kemenangan itu lenyap seketika. Sebaliknya, kehampaan menyelimuti dadanya. Ia segera merasakan sesuatu yang hilang—bukan sekadar rasa bersalah karena membunuh, melainkan kehancuran pada bagian dirinya yang paling rapuh. Ia mencoba mengingat wajah ibunya, senyum lembut yang dulu selalu menyambutnya setiap pagi. Namun, yang muncul hanya bayangan samar. Suara hangat yang pernah menjadi pelipur lara di masa kecilnya, kini hilang, seolah tersapu angin. Dadanya sesak, seakan ada lubang yang tak bisa ia tutupi lagi. Ia berusaha mengingat wajah ibunya—tetapi suara lembutnya, suara yang dulu selalu ia ingat, kini lenyap.

Ia tersentak.

Serina mendekat, wajahnya khawatir. Matanya menyiratkan ketakutan yang berusaha ia sembunyikan. "Kaelen... Apa yang baru saja kau lakukan? Itu... bukan kau... Apa yang terjadi padamu?" Suaranya bergetar, antara cemas dan bingung. Ia melirik mayat-mayat yang bersimbah darah di sekitar mereka, lalu kembali menatap Kaelen dengan was-was. "Aku tak pernah melihatmu seperti itu... Kau... kau baik-baik saja?"

Lyra menatapnya dengan campuran rasa syukur dan ketakutan. "Kau... kau baik-baik saja?"

Kaelen menunduk, menyadari harga yang baru saja ia bayar. Dadanya terasa sesak, seolah sebagian dirinya direnggut paksa. Suara ibunya yang dulu hangat kini lenyap, digantikan kehampaan yang mencekik. Ia merasa seperti berdiri di ambang jurang, semakin dekat pada kehilangan semua yang ia cintai. Jika ini baru awal, bagaimana jika ia terus menggunakan kekuatan itu? Apakah suatu hari ia akan melupakan semuanya—Varrok, Serina, Lyra? Apakah kemenangan benar-benar sepadan dengan harga ini? Dengan suara lirih, ia akhirnya berkata, "Aku baik... Kita harus pergi."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati berat. Kaelen tahu, ini baru permulaan. Setiap langkah ke depan, ia semakin jauh dari orang yang dulu ia kenal sebagai dirinya sendiri.

RECENTLY UPDATES