©NovelBuddy
The Shattered Light-Chapter 39: – Luka yang Tak Terlihat
Chapter 39 - – Luka yang Tak Terlihat
Fajar menyingsing di langit timur, menyinari pos penjaga yang kini dikuasai pasukan Balrik. Asap tipis masih mengepul dari sisa pertempuran semalam. Mayat-mayat prajurit Ordo Cahaya tergeletak di tanah yang bercampur darah dan lumpur. Beberapa prajurit Balrik sibuk mengumpulkan senjata dan merawat yang terluka.
Kaelen duduk di sudut pos, punggungnya bersandar pada dinding kayu yang dingin. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungnya, membuat perutnya bergejolak. Terdengar samar-samar suara gemeretak kayu terbakar dari sisa pertempuran, disertai erangan pelan prajurit yang terluka di kejauhan. Semua itu membentuk simfoni duka yang terus menggema di telinganya. Napasnya berat, matanya menatap kosong ke arah tanah. Tubuhnya terasa lelah, tetapi jiwanya lebih lelah lagi. Ia berusaha mengingat suara ibunya, namun hanya gema samar yang tersisa. Kehilangan itu menusuk lebih dalam daripada luka fisik mana pun.
Serina berjalan menghampirinya, membawa sepotong roti kering dan kantung air. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
"Kau belum makan sejak semalam," ucapnya pelan.
Kaelen mengangkat wajah, mencoba tersenyum, tapi gagal. Ia menerima roti itu dan menggigitnya perlahan.
Serina duduk di sampingnya. "Aku melihat matamu tadi malam. Sesuatu terjadi, bukan? Saat kau mengayunkan pedang itu..."
Kaelen terdiam. Bayangan semalam melintas di benaknya—momen ketika ia menebas seorang prajurit Ordo dengan kekuatan yang tak wajar. Tubuh lawan itu terlempar jauh, membentur pagar kayu hingga patah. Ia ingat tatapan Serina saat itu—kaget, takut, dan khawatir bercampur jadi satu. Ia tahu Serina melihatnya. Ia tahu Rhal dan yang lainnya juga melihat. Bisikan kekuatan gelap itu mulai memperlihatkan dampaknya di mata mereka.
"Aku kehilangan bagian dari diriku setiap kali aku menggunakannya," jawab Kaelen akhirnya. Suaranya lirih, seperti pengakuan dosa. "Suara ibuku... aku hampir tak bisa mengingatnya lagi."
Serina menatap Kaelen dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tahu tak ada kata yang mampu menghapus beban itu.
Lyra bergabung dengan mereka, wajahnya sedikit pucat setelah membantu merawat yang terluka. Ia duduk di sisi lain Kaelen, diam, namun kehadirannya memberi kehangatan tersendiri.
"Aku tahu aku harus kuat," lanjut Kaelen. "Tapi semakin jauh aku melangkah, semakin aku takut aku akan melupakan kalian juga. Aku takut suatu hari aku bangun dan tak ada lagi yang aku kenali."
Lyra menggenggam tangan Kaelen erat. "Kami di sini. Kami akan mengingatkanmu siapa dirimu, apa pun yang terjadi. Kau tak sendiri, Kaelen."
This content is taken from fгeewebnovёl.com.
Kaelen merasakan genggaman itu, dan untuk sesaat, rasa sakit di dadanya mereda. Kehangatan tangan Lyra seolah menjadi pengikat yang menahan dirinya agar tetap berada di dunia nyata, di sisi orang-orang yang peduli padanya. Ia menutup mata sejenak, membiarkan kehangatan itu meresap, melawan kehampaan yang perlahan menggerogoti jiwanya. Dalam momen singkat itu, ia merasa aman—seperti anak kecil yang berlindung di pelukan ibunya, meski ia tahu, rasa tenang ini bisa hilang kapan saja.
Di sisi lain pos, Rhal berbicara dengan Balrik dan Varrok. Mereka merencanakan langkah berikutnya. Penaklukan pos ini membuka jalan bagi serangan lebih besar, tetapi juga memperbesar risiko pembalasan Ordo Cahaya.
"Ordo pasti akan mengirim pasukan besar untuk merebut kembali pos ini," ujar Balrik tegas. "Kita harus bersiap. Ini baru permulaan."
Varrok menatap Kaelen dari kejauhan. Ia melihat beban di bahu pemuda itu. Ia tahu Kaelen adalah harapan mereka, tapi ia juga tahu beban seperti ini bisa menghancurkan siapa pun.
Malam mulai turun lagi. Kaelen berdiri di atas menara penjaga, menatap jauh ke arah hutan yang gelap. Bayangan Eryon terasa mengintai di antara pepohonan. Kaelen tahu, musuhnya tak hanya datang dari luar. Musuh terbesarnya ada di dalam dirinya sendiri.
"Aku tak akan kalah," bisiknya pelan, entah pada dirinya sendiri atau pada kegelapan di seberang sana.
Dan di kejauhan, Eryon berdiri di balik pohon, mendengar bisikan itu. Senyumnya melebar. Ia tahu, pertarungan sejati baru saja dimulai.